Jumat, 19 Februari 2010

IJMA’

A. Pengertian Ijma’
Secara bahasa ijma’ berasal dari bahasa Arab yang artinya orang yang berkumpul. Sedangkan menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan kaum mujtahid dalam suatu masalah hukum dan penetapannya setelah wafat Rasulullah saw. Ijma’ merupakan suatu realisasi dari suatu peristiwa yang memerlukan adanya istinbat hukum, dimana masalah yang terjadi dikemukakan kepada para mujtahid dan mereka sepakat. Ijma’ ini terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw karena ketika nabi masih hidup beliau sendirilah satu-satunya orang yang dpat menetapkan hukum. Jadi dapat kita simpulkan bahwa ijma’ terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw.
Dalam hukum syariat Islam ijma’ merupakan salah satu dasar hukum Islam, kerena ulama-ulama fiqih sepakat merupakan salah satu sumber sandaran untuk menetapkan hukum apabila tidak terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah.
B. Kehujjahan Ijma’
Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Allah dan Rasulnya, Allah juga memerintahkan untuk mentaati pemimpin diantara kamu sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59:
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.
Lafaz amar berarti urusan dan ia adalah umum yang meliputi urusan keagamaan dan urusan duniawi. Lafaz ulilamri mengandung arti pemegang urusan dunia seperti kepala Negara, anggota perwakilan rakyat, para menteri dll. Uliamri juga mengandung arti pemegang urusan agama seperti mujtahid, mufti, dan ulama. Oleh karena itu mereka sependapat dalam menetapkan hukum maka wajib ditaati dan diikuti sebgaimana mentaati dan mengikuti nash. Hal ini juga diperkuat oleh firman Allah SWT:
Artinya : “dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulilamri (sahabat dan para cendikiawan) diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahui dari mereka ( Rasul dan Ulil amri).
Dan Allah SWT telah mengecam orang-orang yang menentang Rasul saw dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin dalam firman-Nya:
115. Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu[348] dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
[348] Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
Berdsarkan hadits Nabi saw ijma’ diperbolehkan oleh Rasulullah sebagaimana sabda beliau:
Artinya: ummatku tidak berkumpul atas kesalahan”
Dan ada hadits lain yang menguatkan kehujjahan ijma’:
Artinya: Allah tidak akan menghimpun ummatku atas kesesatan”.

C. Kriteria dan Syarat Ijma’
Dari pembahasan sebelumnya kita tahu bahwa ijma’ adalah suatu persesuaian pendapat para ulama mujtahid pada suatu masa terhadap suatu peristiwa yang memerlukan hukum. Adapun ijma’ harus memiliki empat syarat atau rukun yang harus dipenuhi agar ijma’ terealisasi:
a. Ada segolongan mujtahid ketika terjadi peristiwa.
b. Adanya kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu hukum sara’ mengenai suatu peristiwa tnpa memandang negeri.
c. Kesepakatan itu mereka tampilkan pendapat secara jelas mengenai perstiwa itu.
d. Kesepakatan atau ijma’ itu merupakan kesepakatan seluruh mujtahid secara bulat.
Adapun criteria atau ciri-ciri ijma’ itu adalah:
a. Adanya kesepakatan mujtahid dalam hukum yang tidak terdapat dalam nash atau sunnah.
b. Biasanya kesepakatan itu didapat melalui qias.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar