A. Latar Belakang Pembentukan NU
Munculnya atau lahirnya NU diawali dengan suatu proses yang panjang, yaitu dengan munculnya gerakan nasionalisme yang antara lain ditandai dengan berdirinya SI (sebelumnya bernama SDI) yang telah mengilhami sejumlah pemuda pesanteren yang bermukin di Mekkah untuk mendirikan cabang perhimpunan disana. Namun hal tersebut belum sempat berkembang mereka sudah kembali karena pecah perang kedua. Setelah mereka sampai ditanah air, mereka mendirika perhimpunan koperasi Nahdatul Watan (1914), taswi-ru Afkar (1918) dan perhimpunan koperasi nahdatul Tujjar (1918). Selain itu di Surabaya didirikan perhimpunan local yang sejenis, antara lain perikatan wataniyah, ta’mirul Masajid dan Atta’dibiyah.
Ketegangan dalam kongres al-Islam sepanjang paruh pertama tahun duapuluh dan berlanjut dalam siding-sidang komite khilafat, telah mendorong perhimpunan local di Surabaya itu turut mendirikan organisasi baru yang lebih luas dan berskala nasional. Karena mereka menilai lembaga-lembaga perhimpunan Islam atau kongres al- Islam tidak bersikap akomodatif terhadap visi yang mereka coba kembangkan. Ketengangan itu kemudian berlanjut setelah delegasi yang dikirimkan kekongres Mekkah tahun 1926 ternyata mengabaikan kepentingan-kepentingan yang mereka kembangkan. Mereka kemudian mengirimkan delegasi sendiri ke Mekkah untuk kepentingan tersebut mereka mendirikan perhimpunan baru yaitu NU. Dan adapun delegasi pendiri NU tersebut yaitu: Hasyim Asyari, Abdul Wahab Hasbullah dan Bisri Sansuri.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa motif utama yang mendasari gerakan para ulama membentuk NU adalah:
a. Motif keagamaan sebagai jihad fisabilillah
b. Tanggung jawab pengembangan pemikiran keagamaan yang ditandai dengan upaya pelestarian ajaran mazhab ahlus sunnah waljamaah.
c. Dorongan untuk mengembangkan masyarakat melalui kegiatan pendidikan, social dan ekonomi.
d. Motif politik yang ditandai dengan semangat nasionalisme ketika pendiri NU itu mendirikan cabang SI Mekkah serta obsesi mengenai hari depan negeri merdeka bagi ummat Islam.
B. Peranan Strategis Ulama (NU)
Posisi dan peran ulama yaitu NU khususnya sangatlah penting dan terpokus pada dua hal. Pertama, mereka yang dengan bobot dan kekurangannya dan keutamaannya masing-masing berposisi dan sekaligus berperan sebagai “pencerah” alam piker umat. Para ulama, sesuai dengan disiplin ilmu mereka masing-masing berperan aktif dalam “mencerdaskan” kehidupan umat. Pemikiran para ulama menjadu bahan rujukan ilmiah yang selalu dipegangi dan terus digali untuk selalu dikembangkan secara kreatif. Fatwa-fatwa hukum yang dihasilkan oleh para ulama selalu menjadi rujukan pengetahuan, menjadi dasar bimbingan moral dan menjadi acuan hukum sehingga umat tidak terombang ambing ketidak pastian, terutama dalam menghadapi kompleksitas masalah social masyarakat yang selalu timbul dalam kegidupan ini ejalan dengan gerak laju modernitas .
Kedua, posisi sentral dan peranan strategis ulama adalah sebagai panutan umat. Kualitas moral yang baik yang diperlihatkan dan dicontohkan oleh ulama sngat penting dan strategis ditengah-tengah kehidupan umat dan bangsa yang mengalami gelombang transformasi dari masyarakat tradisional kemayarakat modern atau dari masyarakat agrasi manuju masyarakat industry. Dalam keadaan demikian terjadi arus pergulatan dan pergumulasi nilai dalam berbagai aspek kehidupan.
Dengan keteladanan moral yang baik,mulia dan luhur dari para ulama, maka ummat akan mendapatkan contoh dan bimbingan moral sehingga umat tidak akan kehilangan arah dalam menjalani kehiudpan ini. Keteladanan moral yang diajarkan dan dicontohkan para ulama bertumpu pada prinsip ajaran “amar ma’ruf nahi munkar”. Prinsip ajaran ma’ruf nahi munkar ini sudah tentu masuk dalam berbagai wilayah perilaku manusia dan mencakup segala aspek kehidupan umat.
Tanpa prinsip amar ma’ruf nahi munkar, maka tatanan kehidupan politik, kebangsaan, kenegaraan, kebangsaan dan yang lainnya akan jatuh kedalam jurang “Machiavelistis”, yaitu suatu cara hidup yang mengerjakan tujuan menghalalkan segala cara, apapun caranya, asal tujuan tercapai maka akan dilakukan. Oleh karena itu dengan berpegang teguh pada ajaran amar ma’ruf nahi munkar, seluruh tatanan prilaku manusia akan dapat terkontrol dan terukur, dan dapat menyesuaikan perilakunya dengan ajaran luhur dan mulia tersebut.
Usaha-usaha NU
Usaha-usaha NU diawal sejarahnya mencakup pembentukan lajnah Wathoniyah (panitia wakaf) disebut cabang NU pada tahun 1936. Badan ini berfungsi sebagai pengelola harta wakaf umat Islam agar terkooedinasi dan teratur pada kebutuhan. Kebutuhan yang paling mendesak, sesuai dengan konsep dasarnya, harta wakaf dan keuntungannya memang diperuntukkan bagi kemashlahatan social umat Islam. Tahun 1973 NU mendirikan usaha koperasi, disebut syirkah Mu’awanah di Surabaya, Singosari, Bangolan dan Persik. Namun demikian kegiatan utama NU tetap dalam bidang keagamaan dan pendidikan. NU berakar dari para ulama/ kia pengasuh pesantren. Charisma dan posisi social para kiya ini jelas berperan besar dalam penyebarluasan NU. Pada awalnya NU belum memiliki rumusan yang jelas tentang reformasi pendidikan. Akan tetapi pesantern-pesanteren asuhan para kiay dengan sendirinya sudah merupakan asset besar dibidang pendidikan yang harus diurus NU.
Pembaharuan system pendidikan NU adalah inisiatif dari dua orang tokoh penting K.H Muhammad Ilyas dan K.H Wahid Hasyim. Muhammad Ilyas dengan persetujuan Hasyim Asy’ari yang memasukkan pelajaran umum ke pesantren tebu ireng. Ini mencakup penggunaan aksara latin, pelajaran ilmu bumi, sejarah, dan bahasa melayu. System pengajaran bahasa Arab juga mengalami perubahan serius. Ia menggunakan penggunaan buku-buku sulit dan memperkenalkan model pengajaran baru yang mengacu pada system pengajaran bahasa Belanda yang digunakan di sekolah-sekolah belanda. Dimana bahasa lisan sederhana diajarkan sebelum beranjak pada bahasa tulisan yang lebih sulit.
Disamping pesantren sebagai basis kegiatan pendidikan, sejak era 1930-an NU juga merintis pendirian madrasah-madrasah system klasikal. Tahun 1940-an mulai dibuka sekolah-sekolah menengah pertama dan atas. NU mendirikan universitas di Jakarta, Bandung serta sebuah akademi bank di Semarang tahun 1960-an. Lalu sejumlah pesantren juga membuka universitas atau akademik. Pada bidang social, NU selalu menekankan pentingnya ukhwah dan saling menolong antar ummat. NU juga dikenal sebagai organisasi yang memperhatikan kelestarian budaya sambil mengisinya dengan nafas keagamaan. Barzanju, shalawatan dan kasidah adalah contoh-contoh yang dengan mudah ditemukan dikalangan NU.
REFERENSI
Einar M. Sitompul, Nahdatul Ulama dan Pancasila, (Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1996)
M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, (PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta,
1994)
Ismail, Faisal, Dilema NU, (Departemen Agama RI: Jakarta, 2004)
Wahyudin Nur Nasution, Perkembangan Pemikiran Modern Islam, (Medan, 2007)
Munculnya atau lahirnya NU diawali dengan suatu proses yang panjang, yaitu dengan munculnya gerakan nasionalisme yang antara lain ditandai dengan berdirinya SI (sebelumnya bernama SDI) yang telah mengilhami sejumlah pemuda pesanteren yang bermukin di Mekkah untuk mendirikan cabang perhimpunan disana. Namun hal tersebut belum sempat berkembang mereka sudah kembali karena pecah perang kedua. Setelah mereka sampai ditanah air, mereka mendirika perhimpunan koperasi Nahdatul Watan (1914), taswi-ru Afkar (1918) dan perhimpunan koperasi nahdatul Tujjar (1918). Selain itu di Surabaya didirikan perhimpunan local yang sejenis, antara lain perikatan wataniyah, ta’mirul Masajid dan Atta’dibiyah.
Ketegangan dalam kongres al-Islam sepanjang paruh pertama tahun duapuluh dan berlanjut dalam siding-sidang komite khilafat, telah mendorong perhimpunan local di Surabaya itu turut mendirikan organisasi baru yang lebih luas dan berskala nasional. Karena mereka menilai lembaga-lembaga perhimpunan Islam atau kongres al- Islam tidak bersikap akomodatif terhadap visi yang mereka coba kembangkan. Ketengangan itu kemudian berlanjut setelah delegasi yang dikirimkan kekongres Mekkah tahun 1926 ternyata mengabaikan kepentingan-kepentingan yang mereka kembangkan. Mereka kemudian mengirimkan delegasi sendiri ke Mekkah untuk kepentingan tersebut mereka mendirikan perhimpunan baru yaitu NU. Dan adapun delegasi pendiri NU tersebut yaitu: Hasyim Asyari, Abdul Wahab Hasbullah dan Bisri Sansuri.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa motif utama yang mendasari gerakan para ulama membentuk NU adalah:
a. Motif keagamaan sebagai jihad fisabilillah
b. Tanggung jawab pengembangan pemikiran keagamaan yang ditandai dengan upaya pelestarian ajaran mazhab ahlus sunnah waljamaah.
c. Dorongan untuk mengembangkan masyarakat melalui kegiatan pendidikan, social dan ekonomi.
d. Motif politik yang ditandai dengan semangat nasionalisme ketika pendiri NU itu mendirikan cabang SI Mekkah serta obsesi mengenai hari depan negeri merdeka bagi ummat Islam.
B. Peranan Strategis Ulama (NU)
Posisi dan peran ulama yaitu NU khususnya sangatlah penting dan terpokus pada dua hal. Pertama, mereka yang dengan bobot dan kekurangannya dan keutamaannya masing-masing berposisi dan sekaligus berperan sebagai “pencerah” alam piker umat. Para ulama, sesuai dengan disiplin ilmu mereka masing-masing berperan aktif dalam “mencerdaskan” kehidupan umat. Pemikiran para ulama menjadu bahan rujukan ilmiah yang selalu dipegangi dan terus digali untuk selalu dikembangkan secara kreatif. Fatwa-fatwa hukum yang dihasilkan oleh para ulama selalu menjadi rujukan pengetahuan, menjadi dasar bimbingan moral dan menjadi acuan hukum sehingga umat tidak terombang ambing ketidak pastian, terutama dalam menghadapi kompleksitas masalah social masyarakat yang selalu timbul dalam kegidupan ini ejalan dengan gerak laju modernitas .
Kedua, posisi sentral dan peranan strategis ulama adalah sebagai panutan umat. Kualitas moral yang baik yang diperlihatkan dan dicontohkan oleh ulama sngat penting dan strategis ditengah-tengah kehidupan umat dan bangsa yang mengalami gelombang transformasi dari masyarakat tradisional kemayarakat modern atau dari masyarakat agrasi manuju masyarakat industry. Dalam keadaan demikian terjadi arus pergulatan dan pergumulasi nilai dalam berbagai aspek kehidupan.
Dengan keteladanan moral yang baik,mulia dan luhur dari para ulama, maka ummat akan mendapatkan contoh dan bimbingan moral sehingga umat tidak akan kehilangan arah dalam menjalani kehiudpan ini. Keteladanan moral yang diajarkan dan dicontohkan para ulama bertumpu pada prinsip ajaran “amar ma’ruf nahi munkar”. Prinsip ajaran ma’ruf nahi munkar ini sudah tentu masuk dalam berbagai wilayah perilaku manusia dan mencakup segala aspek kehidupan umat.
Tanpa prinsip amar ma’ruf nahi munkar, maka tatanan kehidupan politik, kebangsaan, kenegaraan, kebangsaan dan yang lainnya akan jatuh kedalam jurang “Machiavelistis”, yaitu suatu cara hidup yang mengerjakan tujuan menghalalkan segala cara, apapun caranya, asal tujuan tercapai maka akan dilakukan. Oleh karena itu dengan berpegang teguh pada ajaran amar ma’ruf nahi munkar, seluruh tatanan prilaku manusia akan dapat terkontrol dan terukur, dan dapat menyesuaikan perilakunya dengan ajaran luhur dan mulia tersebut.
Usaha-usaha NU
Usaha-usaha NU diawal sejarahnya mencakup pembentukan lajnah Wathoniyah (panitia wakaf) disebut cabang NU pada tahun 1936. Badan ini berfungsi sebagai pengelola harta wakaf umat Islam agar terkooedinasi dan teratur pada kebutuhan. Kebutuhan yang paling mendesak, sesuai dengan konsep dasarnya, harta wakaf dan keuntungannya memang diperuntukkan bagi kemashlahatan social umat Islam. Tahun 1973 NU mendirikan usaha koperasi, disebut syirkah Mu’awanah di Surabaya, Singosari, Bangolan dan Persik. Namun demikian kegiatan utama NU tetap dalam bidang keagamaan dan pendidikan. NU berakar dari para ulama/ kia pengasuh pesantren. Charisma dan posisi social para kiya ini jelas berperan besar dalam penyebarluasan NU. Pada awalnya NU belum memiliki rumusan yang jelas tentang reformasi pendidikan. Akan tetapi pesantern-pesanteren asuhan para kiay dengan sendirinya sudah merupakan asset besar dibidang pendidikan yang harus diurus NU.
Pembaharuan system pendidikan NU adalah inisiatif dari dua orang tokoh penting K.H Muhammad Ilyas dan K.H Wahid Hasyim. Muhammad Ilyas dengan persetujuan Hasyim Asy’ari yang memasukkan pelajaran umum ke pesantren tebu ireng. Ini mencakup penggunaan aksara latin, pelajaran ilmu bumi, sejarah, dan bahasa melayu. System pengajaran bahasa Arab juga mengalami perubahan serius. Ia menggunakan penggunaan buku-buku sulit dan memperkenalkan model pengajaran baru yang mengacu pada system pengajaran bahasa Belanda yang digunakan di sekolah-sekolah belanda. Dimana bahasa lisan sederhana diajarkan sebelum beranjak pada bahasa tulisan yang lebih sulit.
Disamping pesantren sebagai basis kegiatan pendidikan, sejak era 1930-an NU juga merintis pendirian madrasah-madrasah system klasikal. Tahun 1940-an mulai dibuka sekolah-sekolah menengah pertama dan atas. NU mendirikan universitas di Jakarta, Bandung serta sebuah akademi bank di Semarang tahun 1960-an. Lalu sejumlah pesantren juga membuka universitas atau akademik. Pada bidang social, NU selalu menekankan pentingnya ukhwah dan saling menolong antar ummat. NU juga dikenal sebagai organisasi yang memperhatikan kelestarian budaya sambil mengisinya dengan nafas keagamaan. Barzanju, shalawatan dan kasidah adalah contoh-contoh yang dengan mudah ditemukan dikalangan NU.
REFERENSI
Einar M. Sitompul, Nahdatul Ulama dan Pancasila, (Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1996)
M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, (PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta,
1994)
Ismail, Faisal, Dilema NU, (Departemen Agama RI: Jakarta, 2004)
Wahyudin Nur Nasution, Perkembangan Pemikiran Modern Islam, (Medan, 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar